Rabu, 13 Januari 2016

Feminisme Era Pejagal


-a different point of view-

Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah artikel di situs bacaan favorit saya basabasi.co. Saya merasa menemukan orang yang berpikiran sama dengan hati kecil saya saat membaca tulisan disana. Dengan bumbu-bumbu nalar yang saya punya walau tidak se-mumpuni penulis-penulis di basabasi.co, tapi saya mencoba menulisnya. 
Kehidupan membawa saya pada pemikiran yang berbeda. Tentang hal ini, feminisme; emansipasi wanita; kesetaraan gender dan pemikiran-pemikiran lain tentang hal serupa. Saya memiliki sudut pandang yang berbeda walau pada awalnya sempat terikat dalam satu paham yang menuntun saya untuk mendukung idealisme tersebut.
Di era sebelum ini, perempuan adalah kaum kelas dua dan tidak banyak memiliki peran penting. Perempuan adalah "kaum manut" yang harus seiya sekata dengan laki-laki.
Feminisme adalah dunia yang penuh godaan, apalagi untuk barisan wanita yang menghendaki keikutsertaan, bahkan jabatan dalam organisasi, masyarakat, dalam politik, personal, budaya dan ekonomi. Feminisme bak sebuah bola panas yang bisa digunakan sebagai alasan dasar bagi segala macam kemauan perempuan.
"Jangan mentang-mentang mereka laki-laki, lalu kita tidak bisa" - begitu kira-kira yang selalu diungkapkan para pegiat feminisme. Sebenarnya, feminisme adalah ranah yang tak tersentuh banyak tangan. Namun, sekali menyentuh sulit sekali untuk mundur. Menurut saya inilah yang dialami oleh para pegiat feminisme eropa pada awalnya. Paham yang sekarang sedang dibangun dalam forum dunia, tak mereka jalani dengan grusah grusuh. Selalu ada capaian-capaian kecil yang menandai keberhasilan pergerakan ini walau pelan. Seperti apa capaian yg sudah feminisme-eirs raih? Setelah mendapat undang-undang khusus dalam forum PBB, di Indonesiapun sudah ada undang-undang tentang perempuan dan kesamaan hak. Itu hanya contoh capaian yang mengemuka. Di belakang itu, pada nyatanya semua hal tentang “Perempuan dan Laki-laki” pasti akan menemui hal yang berkaitan dengan feminism.
Perempuan-perempuan Eropa, Amerika, Timur tengah, dan Asia berlomba-lomba mengeluarkan harta dan menomor sekiankan keluarga demi kemenangan feminism yang jauh disana. Sebenarnya apa tujuan feminisme ini? Menguasai semua aspek kehidupan? Percayakah kita bahwa feminisme hanya bertujuan agar hak wanita di sama ratakan dengan laki-laki? Jawaban saya adalah tidak. Ini tidak sepenuhnya tentang wanita, tapi tentang golongan pegiat dan kepentingan-kepentingannya.
Seiring berjalannya waktu, esensi perjuangan yang sempat saya ikuti dulu sudah tidak menarik lagi. Bukan karena saya merasa bahwa sia-sia saja memperjuangkan feminisme, atau karena saya pasrah kalau perempuan adalah kaum manut sepanjang masa. Namun sederhananya, perempuan (Hawa) tidaklah diutus untuk mengalahkan kenomor satuan Adam. Perempuan diciptakan karena bumi butuh kaum perempuan. Perempuan adalah perempuan, pun laki-laki adalah laki-laki. Kita sama-sama menjadi “Part of The World”. Pegiat feminisme bergerak atas opini bahwa kaum perempuan “terjajah” oleh laki-laki. Selama itu “terjajah” dan bukan “dijajah”, saya rasa kata “terjajah” hanya sebuah sudut pandang. Kadang pegiat feminisme di sekitar kita jika ditanya “Kalian berjuang utuk siapa?”- untuk perempuan-prempuan yang hidupnya terjajah oleh laki-laki- “Siapa? Perempuan mana yang terjajah laki-laki”-…Nyaris semua dialog seperti ini tak pernah mendapat ujung. Sudahlah, terjajah itu hanya sebuah sudut pandang.
Ketika tidak mendapat apa yang diinginkan, itulah yang disebut posisi terjajah. Jika Tuhan menciptakan Hawa terlebih dulu dibanding penciptaan Adam, boleh jadi kaum Adamlah yang sekarang gencar menggiatkan paham Maskulinisme. Sama rumitnya, kan?
Sadarkah kita bahwa perjuangan feminism ini sering kali memakan hak orang lain? Feminism adalah ideologi penyumbang “Penjagalan Hak” di era ini. Bagaimana tidak, pegiat feminism menuntut ini dan itu. Tidak sadar tentang “laki-laki dan perempuan itu sama” hingga seringkali mengambil hak laki-laki atau bahkan hak sesama wanita sendiri. Apa namanya kalau bukan pejagal? Menjagal hak orang lain.
source: google images
Bagi saya ada banyak hal yang lebih penting daripada rebutan kesetaraan. Toh, semua sama di mata Tuhan. Perempuan bisa di puncak tanpa harus meminta lelaki ngalah dan memohon agar disamakan dengan mereka. Hey, kita sama. Mau disamakan seperti apa lagi? Kalau ingin mengungguli manusia lain, jadilah hamba yang lebih takwa dari mereka. Sebagai perempuan, saya pun mengalami, jadi perempuan memang repot. Lantas apa kita perempuan harus menjadi laki-laki? Wah, makin ribet saja nanti.

Semua itu ada alurnya, karena yang Maha Membuat Alur pun ada. Bersyukur saja, jalani peran kita sebaik mungkin. Toh, laki-laki yang hebat di  atas sana lahir dari Rahim kita, besar dalam asuhan kita, maju karena dorongan kita, bahagia karena ada kita di sampingnya. Tidakkah pemikiran-pemikiran seperti ini lebih membuat kita bahagia? Perempuan dan laki-laki adalah sama. Mau disamakan seperti apalagi?
Terlepas dari semua pendapat-pendapat yang ada, sebagai seorang muslim saya (ternyata) baru mengetahui bahwa "Dua hal yang berbeda, jika dipaksa untuk disamakan adalah sebuah kedzoliman". Kalimat dalam tanda kutip itu saya dapat dalam pertemuan terakhir matakuliah PAI. Terlepas (lagi) dari masalah agama, Yah, mungkin lain kali akan saya tulis bagaimana "Islam dan feminisme" , yang terpenting wanita dan laki-laki adalah sama mulianya, sama pentingnya, sama kedudukannya, yang membedakan hanyalah sikap. Semua kembali pada pribadi masing-masing, bagaimana kita sebagai laki-laki menempatkan diri dan kita sebagai perempuan memposisikan diri. 
Tetaplah bersinar dengan kodrat masing-masing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar