-a different point of view-
Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah artikel di situs bacaan favorit saya basabasi.co. Saya merasa menemukan orang yang berpikiran sama dengan hati kecil saya saat membaca tulisan disana. Dengan bumbu-bumbu nalar yang saya punya walau tidak se-mumpuni penulis-penulis di basabasi.co, tapi saya mencoba menulisnya.
Kehidupan
membawa saya pada pemikiran yang berbeda. Tentang hal ini, feminisme;
emansipasi wanita; kesetaraan gender dan pemikiran-pemikiran lain tentang hal
serupa. Saya memiliki sudut pandang yang berbeda walau pada awalnya sempat terikat
dalam satu paham yang menuntun saya untuk mendukung idealisme tersebut.
Di era sebelum ini, perempuan
adalah kaum kelas dua dan tidak banyak memiliki peran penting. Perempuan adalah
"kaum manut" yang harus
seiya sekata dengan laki-laki.
Feminisme
adalah dunia yang penuh godaan, apalagi untuk barisan wanita yang menghendaki
keikutsertaan, bahkan jabatan dalam organisasi, masyarakat, dalam politik,
personal, budaya dan ekonomi. Feminisme bak sebuah bola panas yang bisa
digunakan sebagai alasan dasar bagi segala macam kemauan perempuan.
"Jangan
mentang-mentang mereka laki-laki, lalu kita tidak bisa" - begitu
kira-kira yang selalu diungkapkan para pegiat feminisme. Sebenarnya, feminisme
adalah ranah yang tak tersentuh banyak tangan. Namun, sekali menyentuh sulit
sekali untuk mundur. Menurut saya inilah yang dialami oleh para pegiat
feminisme eropa pada awalnya. Paham yang sekarang sedang dibangun dalam forum
dunia, tak mereka jalani dengan grusah
grusuh. Selalu ada capaian-capaian kecil yang menandai keberhasilan pergerakan
ini walau pelan. Seperti apa capaian yg sudah feminisme-eirs raih? Setelah mendapat undang-undang khusus dalam
forum PBB, di Indonesiapun sudah ada undang-undang tentang perempuan dan
kesamaan hak. Itu hanya contoh capaian yang mengemuka. Di belakang itu, pada
nyatanya semua hal tentang “Perempuan dan Laki-laki” pasti akan menemui hal
yang berkaitan dengan feminism.
Perempuan-perempuan
Eropa, Amerika, Timur tengah, dan Asia berlomba-lomba mengeluarkan harta dan
menomor sekiankan keluarga demi kemenangan feminism yang jauh disana. Sebenarnya apa tujuan feminisme ini?
Menguasai semua aspek kehidupan? Percayakah
kita bahwa feminisme hanya bertujuan agar hak wanita di sama ratakan dengan
laki-laki? Jawaban saya adalah tidak. Ini tidak sepenuhnya tentang wanita,
tapi tentang golongan pegiat dan kepentingan-kepentingannya.
Seiring
berjalannya waktu, esensi perjuangan yang sempat saya ikuti dulu sudah tidak
menarik lagi. Bukan karena saya merasa bahwa sia-sia saja memperjuangkan
feminisme, atau karena saya pasrah kalau perempuan adalah kaum manut sepanjang
masa. Namun sederhananya, perempuan (Hawa) tidaklah diutus untuk mengalahkan
kenomor satuan Adam. Perempuan diciptakan karena bumi butuh kaum perempuan.
Perempuan adalah perempuan, pun laki-laki adalah laki-laki. Kita sama-sama
menjadi “Part of The World”. Pegiat
feminisme bergerak atas opini bahwa kaum perempuan “terjajah” oleh laki-laki.
Selama itu “terjajah” dan bukan “dijajah”, saya
rasa kata “terjajah” hanya sebuah sudut pandang. Kadang pegiat feminisme di
sekitar kita jika ditanya “Kalian berjuang utuk siapa?”- untuk perempuan-prempuan yang hidupnya terjajah oleh laki-laki-
“Siapa? Perempuan mana yang terjajah laki-laki”-…Nyaris semua dialog seperti
ini tak pernah mendapat ujung. Sudahlah, terjajah itu hanya sebuah sudut
pandang.
Ketika
tidak mendapat apa yang diinginkan, itulah yang disebut posisi terjajah. Jika
Tuhan menciptakan Hawa terlebih dulu dibanding penciptaan Adam, boleh jadi kaum
Adamlah yang sekarang gencar menggiatkan paham Maskulinisme. Sama rumitnya, kan?
Sadarkah kita bahwa perjuangan
feminism ini sering kali memakan hak orang lain? Feminism adalah ideologi
penyumbang “Penjagalan Hak” di era ini. Bagaimana tidak, pegiat feminism
menuntut ini dan itu. Tidak sadar tentang “laki-laki dan perempuan itu sama”
hingga seringkali mengambil hak laki-laki atau bahkan hak sesama wanita
sendiri. Apa namanya kalau bukan pejagal? Menjagal hak orang lain.
source: google images |
Bagi saya
ada banyak hal yang lebih penting daripada rebutan kesetaraan. Toh, semua sama di mata Tuhan. Perempuan
bisa di puncak tanpa harus meminta lelaki ngalah
dan memohon agar disamakan dengan mereka. Hey,
kita sama. Mau disamakan seperti apa lagi? Kalau ingin mengungguli manusia
lain, jadilah hamba yang lebih takwa dari mereka. Sebagai perempuan, saya pun
mengalami, jadi perempuan memang repot. Lantas apa kita perempuan harus menjadi
laki-laki? Wah, makin ribet saja nanti.
Semua itu
ada alurnya, karena yang Maha Membuat Alur pun ada. Bersyukur saja, jalani
peran kita sebaik mungkin. Toh, laki-laki
yang hebat di atas sana lahir dari Rahim
kita, besar dalam asuhan kita, maju karena dorongan kita, bahagia karena ada
kita di sampingnya. Tidakkah pemikiran-pemikiran seperti ini lebih membuat kita
bahagia? Perempuan dan laki-laki adalah
sama. Mau disamakan seperti apalagi?
Terlepas dari semua pendapat-pendapat yang ada,
sebagai seorang muslim saya (ternyata) baru mengetahui bahwa "Dua
hal yang berbeda, jika dipaksa untuk disamakan adalah sebuah kedzoliman".
Kalimat dalam tanda kutip itu saya dapat dalam pertemuan terakhir matakuliah
PAI. Terlepas (lagi) dari masalah agama, Yah, mungkin lain
kali akan saya tulis bagaimana "Islam dan feminisme" , yang
terpenting wanita dan laki-laki adalah sama mulianya, sama pentingnya, sama
kedudukannya, yang membedakan hanyalah sikap. Semua kembali pada pribadi
masing-masing, bagaimana kita sebagai laki-laki menempatkan diri dan kita
sebagai perempuan memposisikan diri.
Tetaplah bersinar dengan kodrat
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar